Rabu, 18 November 2009

Kelahiran Rahwana Dan Sekelumit Tentang Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

Kelahiran Rahwana Dan Sekelumit Tentang Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu






Energi dalam tubuh manusia berpusat disekitar pusar. Pembangkitnya berada di situ. Lalu, biasanya ada dua kemungkinan. Mengalir ke bawah, atau mengalir ke atas. Jika mengalir ke bawah, instink-instink hewani dalam diri manusia akan terstimuli. Instink-instink hewani yang kita warisi berkat evolusi panjang itu akan bangkit kembali dan mencari mangsanya. Kemudian, demi kenyamanan diri, kita bisa mencelakakan apa saja. Sebaliknya, jika mengalir ke atas, energi itu akan membuat anda menjadi lebih kreatif dan konstruktif. Anda akan menjadi unik, orisinil dan karena itu anda akan menjadi berkah bagi lingkungan sekitar anda. *1 Medis dan Meditasi

Latar belakang keluarga para pelaku dalam Ramayana

Prabu Dasarata penuh hasrat mendapatkan seorang putra, sehingga mengawini tiga orang wanita yang ternyata tiga-tiganya belum dapat memberikan putra juga. Akhirnya dengan suatu upacara ritual ketiga istrinya melahirkan empat putra. Keempat putranya saling mengasihi.

Kemudian karena sang prabu kalah janji dengan istri ketiga, maka putra terkasihnya Sri Rama harus meninggalkan istana yang menyebabkan kesedihan sang prabu yang membawanya keujung kematian.

Resi Gotama bertapa seratus tahun dengan harapan mendapatkan anugerah isteri seorang bidadari. Dewi Windradi adalah seorang bidadari yang bersedia menjadi istrinya, akan tetapi dia memiliki cupu manik Astagina yang pada setiap saat konon dapat berhubungan dengan Bathara Surya lewat cupu tersebut.

Pasangan suami istri tersebut melahirkan tiga anak, Guwarsa yang akhirnya menjadi Subali, Guwarsi yang menjadi Sugriwa dan Retno Anjani yang melahirkan Hanuman. Dua bersaudara Subali dan Sugriwa berseteru hingga akhirnya Subali mati dipanah Sri Rama. Sedangkan Hanuman melakukan “total surender” pada Sri Rama, sang avatara.

Dewi Sukesi, putri raja Alengka Prabu Sumali, seorang wanita yang sangat percaya diri dan bersemangat. Sang putri menerima saran sang ayahanda bahwa pemilihan pasangan hidup melalui pertarungan antar ksatria tidak perlu diperpanjang lagi. Dewi Sukesi kemudian memilih pasangan hidup siapa pun yang dapat menjabarkan Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.

Resi Wisrawa adalah seorang raja yang meninggalkan kenyamanan istana demi peningkatan kesadaran. Akan tetapi sang resi masih punya keterikatan dengan sang putra yang menggantikannya sebagai raja Lokapala. Sang putra mabuk kepayang ingin mempersunting Dewi Sukesi, akan tetapi ketakutan karena semua ksatria yang datang meminang sang putri dibunuh oleh Patih Harya Jambumangli adik Prabu Sumali yang diam-diam jatuh cinta kepada sang keponakan.

Resi Wisrawa berangkat ke Alengka untuk mendapatkan jodoh bagi sang putra. Akan tetapi sewaktu menguraikan Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu kepada Dewi Sukesi, mereka berdua terlena dan melakukan hubungan suami istri. Dari mereka lahirlah Rahwana, Sarpakenaka, Kumbakarna dan Wibisana. Sarpakenaka yang hiperseks sakit hati dengan Dewi Sinta dan minta sang kakak menculiknya. Kumbakarna tidak menyetujui keserakahan Rahwana memilih makan dan tidur serta tidak mau melihat kesewenang-wenangan kakaknya. Wibisana tidak cocok dengan tindakan kakaknya dan ketika kakaknya menculik istri Sri Rama, ksatria avatara idolanya, maka dia menyeberang ke pihak Sri Rama.

Kisah Ramayana yang berkembang di Nusantara, penuh dengan berbagai karakter pelaku, dengan berbagai hubungan kekerabatan yang bagaimana pun sampai saat ini masih relevan untuk dipetik hikmahnya. Berbagai karakter dan persoalan rumah tangga tersebut terasa dekat dengan DNA bangsa Indonesia. “Setting” panggung dan zaman sudah berubah, akan tetapi karakter para pelaku dan pelbagai permasalahan kekerabatan pada hakikatnya tidak jauh berbeda. Bahkan sampai saat ini masih banyak orang tua yang menamakan anaknya, Rama, Bharata, Laksmana, Sinta, Sita dan lainnya.

Walaupun Epos Ramayana berawal dari India, tetapi begitu sampai Nusantara, nuansanya disesuaikan. Bahkan di India tidak ada satu pun candi dengan relief batu tentang Ramayana. Hal tersebut menunjukkan betapa tingginya peradaban kita saat itu. Akan tetapi, pada saat ini justru beberapa produk budaya kita, yang secara jujur pernah “kurang mendapat perhatian”, telah dirawat oleh bangsa lain. Semoga putra-putri Indonesia menyadari jati diri budaya bangsa, melestarikannya dan bangkit dari keterpurukannya.

Saatnya kita kembali kepada ajaran leluhur, kepada budaya asal Nusantara, kepada kearifan lokal, kebijakan nenek moyang. Saatnya kita menghormati dan menghargai alam, lingkungan. Hubungan dengan alam dan sesama makhluk hidup – bukanlah hubungan horizontal sebagaimana dicekokkan kepada kita selama bertahun-tahun. Pun hubungan kita dengan Tuhan bukanlah vertikal. Tuhan tidak berada di atas sana, di lapisan langit kesekian. Pemahaman vertikal-horizontal seperti ini telah memisahkan kita dari alam. Tuhan berada dimana-mana, Ia meliputi segalanya, sekaligus bersemayam di dalam diri setiap makhluk inilah inti ajaran leluhur kita. Inilah kearifan lokal kita. Dan, hanyalah pemahaman seperti ini yang dapat menyelamatkan kita dari kemusnahan dan kehancuran. *2 Panca Aksara



Latar belakang Resi Wisrawa dan Dewi Suksesi

Prabu Sumali, Raja Alengka sadar bahwa sayembara memperebutkan Dewi Sukesi, sang putri dengan cara perang tanding antar ksatriya telah menimbulkan pertumpahan darah yang tidak seharusnya terjadi. Telah banyak ksatria mati di tangan Harya Jambumangli adik, sekaligus patih kerajaan Alengka. Akan tetapi permintaan sang putri untuk bersedia menjadi isteri dari orang yang sanggup mengupas Sastrajendra Pangruwating Diyu membuatnya sangat gundah. Bagaimana pun sang putri adalah seorang gadis yang tegas dan dia terlanjur memanjakan dan menuruti apa pun kemauan sang putri. Dewi Sukesi memang berbeda dari Dewi Sinta yang pasrah kepada ayahandanya, Sang Prabu Janaka yang bijaksana untuk mencarikan jodoh baginya.

Resi Wisrawa sedang mengupas ilmu Sastrajendra Pangruwating Diyu di taman keputren bersama Dewi Sukesi. ‘Sastrajendra’, Tulisan Agung tersebut tak jauh dari pemahaman tentang manusia itu sendiri, tentang ‘gumelaring jagad’, asal-usul jagad, ‘sejatining urip’, makna hidup, ‘sejatining panembah’, pengabdian kepada Gusti dan ‘sampurnaning pati’, kesempurnaan kematian.

Konon Guru adalah seseorang yang mendapatkan pengetahuan langsung dari Keberadaan. Sedangkan murid sejati adalah seseorang yang berkeinginan tunggal atau “murad” untuk mengalami penyatuan dengan Keberadaan, manunggal dengan Gusti. Yoga juga berarti penyatuan dengan Ilahi. Sang murid telah paham bahwa dunia ini hanya ilusi, permainan pikiran, sehingga Keberadaan menghendaki dia bertemu dengan Guru untuk membimbingnya dalam menjalani kehidupan spiritualnya. Sang Guru dan sang murid hanya melaksanakan ridho Sang Keberadaan. Mungkin contoh yang baik hubungan antara Guru dan murid adalah hubungan antara Sri Rama dengan Hanuman. Hanuman pasrah total kepada Sri Rama yang merupakan wujud keilahian. Lain Hanuman lain kita, kepasrahan kita hanya di bibir saja.

Ucapan-ucapan seperti, “Aku sudah pasrah. Aku sudah berserah diri sepenuhnya” hanya menunjukkan betapa naifnya kita. Di balik ucapan-ucapan kita seperti itu masih ada keinginan terselubung, untuk menonjolkan diri kita. Kepasrahan kita membutuhkan pengakuan orang lain. Ego kita masih tetap ada. Dan selama masih ada ego, tidak ada cinta, tidak akan ada kasih. *3 Samudra Sufi

Resi Wisrawa dalam mengupas Sastrajendra masih menuruti ego pribadi untuk mendapatkan jodoh bagi sang putra. Dewi Sukesi dalam menerima pengetahuan juga masih mempunyai keterikatan terhadap ego pribadi untuk mencari suami. Mereka menuruti hasrat ego-nya, bukan ridho Sang Keberadaan, belum mencerminkan hubungan antara Guru dan murid.



Terpelesetnya Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi dalam pengupasan Sastrajendra

Beberapa penjelasan Resi Wisrawa, “Pada waktu kita sudah lepas dari keterikatan, kehilangan rasa memiliki, termasuk memiliki diri sendiri, kita masuk dalam “kematian”. Di balik “kematian” itulah justru ada “kehidupan” sejati. Kehidupan yang tidak berawal dan tidak berakhir, yang bebas dari belenggu keterikatan.”

Mereka yang jiwanya telah mati sibuk mencari kehidupan. Mereka yang jiwanya hidup mengejar kematian. Suatu paradoks tetapi Begitulah adanya. Apabila anda tidak merasa hidup, Anda akan selalu mengejar kehidupan. Apabila Anda tidak merasa sehat, Anda akan mengejar kesehatan. Apa pun yang Anda rasakan tidak “ada” dalam diri Anda, akan Anda kejar. Anda akan membanting tulang untuk memperolehnya. Sebaliknya, mereka yang merasakan dirinya hidup, mereka yang telah mengenal kehidupan dari dekat, mereka yang telah puas menjalani kehidupan tidak akan mengejar kehidupan lagi. Mereka yang sehat tidak mengejar kesehatan. *3 Samudra Sufi

“Kita berada dalam keindahan cinta. Alam semesta ini adalah perwujudan cinta Sang Keberadaan. Manusia, hewan, tanaman tak mungkin ada tanpa cinta. Cinta dan keindahan terdapat dalam naluri, integensia setiap manusia.”

“Ibarat sungai diam yang mengalirkan air yang selalu baru. Bukan jatidiri yang berjalan, tetapi waktulah yang berjalan. Cinta melampaui waktu. Tubuh fisik boleh berubah sesuai usia, akan tetapi cinta itu sendiri abadi. Masa lalu tidak ada, masa depan belum tiba dan yang ada hanya saat ini dan hal ini perlu dirayakan.”

“Dalam cinta itu ada kerinduan, bukan kerinduan terhadap hal-hal duniawi yang bersifat sementara, tetapi kerinduan kepada hal yang tidak dimengerti. Kebahagian dalam kerinduan tersebut bukan karena kepemilikan, tetapi karena ridho Sang Keberadaan. Pasrah total terhadap Keberadaan.”

Cinta tidak bertujuan, tak akan pernah bertujuan. Mereka yang belum kenal cinta selalu bingung. Mereka tidak dapat membayangkan suatu “tindakan” tanpa tujuan. Cinta yang ada pamrihnya, yang bersyarat, bukan cinta lagi. Lakukan introspeksi diri selama ini apakah Anda mencintai Allah? Jangankan pengorbanan dalam cinta, selama ini mungkin cinta pun belum pernah menyentuh jiwa kita, ruh kita, batin kita. Dan apabila kita belum mencicipi manisnya Kasih Allah, manisnya Cinta Tuhan, selama itu pula kita akan selalu berkiblat pada dunia benda pada segala sesuatu yang fana, yang semu. Berkorban dalam Cinta Allah berarti menolak segala sesuatu yang fana. Dengan Cinta, dan hanya Cinta saja yang dapat menyingkirkan bayangan gelap dari yang bukan Allah itu. Dengan Cinta dan Cinta saja, jiwa manusia dapat memenangkan kembali sumber kesucian itu dan menemukan tujuan utama yaitu penyatuan kembali dengan kebenaran. *3 Samudra Sufi

Cinta, kasih adalah pengalaman tertinggi, terakhir, yang dapat dialami oleh manusia. Setelah itu, apa lagi, what next? Saya tidak tahu. Dalam cinta yang tak terbatas itu, Mansur dan Rabiah menghilang. Dalam kasih yang tak terhingga itu, Isa dan Buddha lenyap tanpa bekas. Mereka tidak kembali untuk menjelaskan apa yang terjadi. Mereka menyatu dengan cinta, dengan kasih itu sendiri. Apabila Anda mengalami cinta, mengalami kasih, sebenarnya Anda juga sedang mengalami Isa dan Buddha, Mahavir dan Muhammad, Zarathustra dan Nanak. Cinta adalah jalan, sekaligus tujuan. Kasih adalah penuntun yang mengantar kita ke tujuan akhir kita. Dan tujuan akhir itu adalah kasih pula, cinta juga. *3 Samudra Sufi

“Sifat keraksasaan dalam diri harus diruwat, dikembalikan ke keadaan asalnya. Dan untuk mensucikan jiwa, kita harus menggunakan raga. Anakku Sukesi, mari kita kembali ke bumi untuk menyelesaikan tugas kita mengendalikan keraksasaan, mengendalikan “Diyu” dalam diri!” Dewi Sukesi merasa belum terpuaskan keingintahuannya dan belum mau menyudahi penguraian tentang Satrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.

Begitu larutnya mereka dalam penjabaran Sastrajendra, sampai mereka lupa bahwa “Diyu”, sang raksasa dalam diri mereka yang lama terpendam bangkit dan menutup kesadaran mereka. Keduanya bahkan gagal memaknai Sastrajendra, Sang Tulisan Agung. Mereka melakukan hubungan suami istri. Mereka tidak dinikahkan oleh orang tua atau dinikahkan oleh pelaksana ritual pernikahan, tetapi mereka dinikahkan oleh syahwat mereka.



Kelahiran putra-putri Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi

Mind seseorang berwujud energi, dan energi tidak bisa mati, yang mati hanyalah raganya. Mind yang tak berbadan tersebut akan mencari raga baru untuk melanjutkan obsesi dan menerima akibat dari tindakan yang pernah dibuatnya sesuai aturan alam, hukum sebab-akibat.

Medan Energi Bio-Electric Subconscious Mind (MEBESM) yang tidak ikut mati membentuk synap-synap asli dalam otak bayi yang baru lahir. Demikian, otak bayi mewarisi informasi, keinginan, dan obsesi yang tersimpan dalam MEBESM tersebut. Bahkan, MEBESM bisa memilih tempat dan situasi di mana tersedia stimulus-stimulus sesuai dengan yang dibutuhkannya. Dalam arti kata lain, “kita” memilih tempat lahir. Bahkan orang tua pun pilihan kita sendiri. *1 Medis dan Meditasi

Peristiwa terpelesetnya Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi mengakibatkan kelahiran putra-putrinya. Dikatakan terpeleset, mungkin juga kurang tepat. Mungkin sudah ada cetak biru Keberadaan untuk melahirkan pemimpin para raksasa yang mengumpulkan para raksasa untuk berperang secara frontal. Mungkin perang tersebut berguna untuk pengurangan populasi raksasa guna penyesuaian daya dukung bumi terhadap kehidupan para raksasa.

Apabila Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi tidak terpeleset, mungkin akan ada skenario lain untuk pengurangan populasi raksasa tersebut. Bagi kita yang penting adalah bahwa kita dapat menarik hikmah dari kisah tersebut demi peningkatan kesadaran. Skenario yang lain tidak perlu diperdebatkan, karena hanya analisa mind belaka.

Yang jelas secara alami, setiap proses produksi selalu menghasilkan “side product” yang harus dibuang. Proses pencernaan juga menghasilkan sampah yang harus dibuang. Membuang “side product” sampah psikis dalam latihan meditasi disebut katarsis, cleansing agar diri tetap sehat. Bahkan dogma-dogma lama yang tersimpan dalam pikiran bawah sadar pun harus di-cleansing agar manusia dapat menerima kemajuan dan hidup dalam kekinian. Pengurangan populasi raksasa atau hewan semacam dinosaurus pun diperlukan dan merupakan cleansing bagi bumi, demi kesehatan bumi. Dan selalu saja setelah cleansing atau katarsis ada rasa kelegaan yang dalam.

Yang jelas kita diminta mengamati sifat “Diyu”, sifat keraksasaan dalam diri, yang masih ada dalam DNA kita, hasil evolusi masa lalu yang sering tidak terkendalikan. Kita telah memilih lahir lagi demi peningkatan evolusi kita. Oleh karena itu jangan hanya berhenti menikmati suka atau duka atas suatu kejadian yang dialami. Di balik setiap kejadian tersirat hikmah atau tujuan atas kejadian tersebut.

Pasangan Anda, istri Anda, suami Anda, orang tua dan anak dan cucu Anda, atasan dan bawahan Anda, mereka semua adalah dosen-dosen pengajar. Mereka yang melacurkan diri demi kepingan emas dan mereka yang melacurkan jiwa demi ketenaran dan kedudukan, mereka semua adalah guru Anda. Anjing jalanan dan cacing-cacing di got, lembah yang dalam, bukit yang tinggi dan lautan yang luas, semuanya sedang mengajarkan sesuatu. *3 Samudra Sufi

Dewi Sukesi mengandung akibat buah cinta terlarangnya dengan Resi Wisrawa. Dan, kemudian dari rahimnya terlahir segumpal darah, bercampur sebuah wujud telinga dan kuku. Segumpal darah itu menjadi raksasa bernama Rahwana yang melambangkan nafsu angkara manusia. Sedangkan telinga menjadi raksasa sebesar gunung yang bernama Kumbakarna, yang meski pun berwujud raksasa tetapi hatinya bijak, ia melambangkan penyesalan ayah ibunya. Sedangkan kuku menjadi raksasa wanita yang bertindak semaunya bernama Sarpakenaka. Kelak Wisrawa dan Sukesi melahirkan seorang putera bernama Gunawan Wibisana. Anak terakhir ini berupa manusia sempurna yang baik dan bijaksana, karena terlahir dari cinta sejati, jauh dari hawa nafsu kedua orang tuannya.

Wibisana lahir normal, disusui sang ibu dengan penuh kasih dan menjadi lebih lembut. Kejadian di awal kelahiran mempunyai pengaruh besar terhadap seorang anak. Seorang anak yang lahir dari operasi cesar, dia lahir begitu mudah tanpa perjuangan, sehingga jangan sampai masa kanak-kanaknya dimanja, agar dia memiliki daya juang. Bayi yang lahir juga perlu diletakkan agak jauh dari buah dada ibunya, agar dia berjuang mendapatkan air susu pertama. Daya juang tersebut diperlukan dalam kehidupan selanjutnya.



Sifat-sifat Rahwana, Sarpakenaka, Kumbakarna dan Wibisana

Menurut filsafat Yoga, seperti yang dijabarkan oleh Patanjali dan lainnya, ada tujuh lapis kesadaran, digambarkan sebagai chakra atau roda. Tiga chakra pertama adalah kebutuhan dasar, makan/minum, seks, dan tidur. Ini adalah kebutuhan yang dilakukan oleh hewan juga. Cakra keempat adalah cinta yang membedakan kita dari dunia hewan. Tentu saja, ini menjadi lapisan pertama kesadaran manusia. Lapisan ini berhubungan dengan bagian otak neo-cortex, sedangkan tiga lapisan pertama berhubungan dengan bagian otak yang mengatur anggota tubuh. Tiga lapisan terakhir adalah lapisan pemurnian, perluasan pandangan, dan pencerahan. Lapisan-lapisan ini membawa kita menuju Yang Maha Kuasa, menuju Keilahian. Jadi, menurut yoga, kita semua menuju ke arah yang sama, Tuhan. *4 Si Goblok

Dalam diri manusia, ada tujuh chakra, akan tetapi putra-putri Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi nampak lebih menonjol pada chakra-chakra tertentu.

Chakra ketiga, kenyamanan, apabila tak terkendalikan menyebabkan manusia mengikuti ahamkara, ego, ingin menang sendiri. Rahwana yang juga disebut Dasamuka bisa dimaknai mempunyai sepuluh kepala, sepuluh otak, sangat cerdas dan mempunyai keserakahan yang luar biasa. Rahwana merupakan perwujudan dari sifat rajas yang agresif dan dominasi unsur alami api yang beraura kemerahan.

Chakra kedua berkaitan dengan kreatifitas dan hubungan dengan seks. Sarpakenaka sangat kreatif, sehingga dapat mengubah wujud dirinya menjadi wanita cantik penggoda Sri Rama dan Laksmana. Seandainya saja Sarpakenaka bisa mentransformasikan energi seks menjadi energi yang kreatif, dirinya akan sangat berguna bagi dunia. Sayangnya dia malah menjadi hiperseks, sudah mempunyai dua suami masih mempunyai PIL (Pria Idaman Lain) Kala Maricha, komandan prajurit andalan Rahwana. Sarpakenaka melambangkan sifat keagresifan dan dominasi unsur api yang beraura kuning.

Chakra pertama berkaitan dengan hal-hal mendasar, misalnya makan dan minum. Kumbakarna selain menuruti hasrat makan minum dan tidur, sebetulnya sudah muncul kesadaran tentang kebenaran. Dia tidak setuju dengan keserakahan Rahwana, tetapi dia tidak berani melawan dan malah melarikan diri dengan cara makan dan tidur. Kumbakarna didominasi unsur tanah beraura hitam yang tamas, malas.

Energi Wibisana, sudah tidak berupa cairan yang mengalir ke bawah perut, tetapi berwujud uap yang mengarah ke atas, mengaktifkan chakra keempat, bersifat satvik, tenang dengan aura putih, dengan dominasi unsur ruang. Wibisana sudah siap menjadi murid Sri Rama yang telah melampaui unsur-unsur alami.



Gigih dalam menegakkan dharma

Kami kutip nasehat Bapak Anand Krishna dalam buku *5 be the Change

Hidup adalah sebuah perjuangan. Berjuanglah terus-menerus demi penegakan dharma, demi hancurnya adharma. Kita tidak di sini untuk saling jarah-menjarah, atau saling rampas-merampas. Kita tidak mewarisi budaya kekerasan dan barbar seperti itu.

Jangan berjuang untuk tujuan-tujuan kecil yang tidak berguna. Jangan berjuang untuk memperoleh kursi yang dalam beberapa tahun saja menjadi kadaluarsa. Jangan berjuang untuk memperoleh suara yang tidak cerdas.

Berjuanglah untuk tujuan besar untuk sesuatu yang mulia. Berjuanglah untuk memperoleh tempat di hati manusia, ya manusia, bukan di hati raksasa. Berjuanglah untuk mencerdaskan sesama anak manusia, supaya mereka memahami arti suara mereka, supaya mereka dapat menggunakan hak suara mereka sesuai dengan tuntutan dharma. Perjuangan kita adalah perjuangan sepanjang hidup. Perjuangan kita adalah perjuangan abadi untuk melayani manusia, bumi ini dengan seluruh isinya, bahkan alam semesta. Janganlah mengharapkan pujian dari siapa pun jua. Janganlah menjadikan pujian sebagai pemicu untuk berkarya lebih lanjut. Berkaryalah terus menerus walau dicaci, dimaki, ditolak…….. Berkaryalah karena keyakinan pada apa yang mesti kita kerjakan. *5 be the Change

Terima Kasih Guru. Semoga kesadaran Guru menyebar ke seluruh Nusantara. Namaste.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar