Sabtu, 19 September 2009

Vasudewa dan Devaki orang tua Sri Krishna

Vasudewa dan Devaki orang tua Sri Krishna




Avatar berarti “Ia yang turun”. Lalu, oleh mereka yang tidak mengetahui artinya diterjemahkan sebagai “turun dari sono”. Entah dari mana! Sebenarnya, tidak demikian. Avatar berarti “ia yang turun dari tingkat Kesadaran Murni”. Seorang avatar harus menurunkan kesadarannya untuk berdialog dengan kita. Untuk berkomunikasi dengan kita. Dan karena itu, bukan hanya Rama, Krishna, dan Buddha, tetapi Yesus juga seorang Avatar. Muhammad dan Zarathustra juga demikian. Mereka semua harus turun dari tingkat Kesadaran Murni yang telah mereka capai, untuk bisa menyampaikan sesuatu kepada kita. Memang, bahasa Krishna lain. Bahasa Buddha lain. Bahasa Yesus lain. Bahasa Muhammad lain. Memang harus begitu, karena mereka sedang berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda, dengan mereka yang tingkat kesadarannya berbeda-beda. *1 Atma Bodha

Membersihkan adharma

Raja Parikesit, berterima kasih atas kisah-kisah Resi Shuka tentang leluhur para Pandawa. Dan, kemudian mohon sang resi menceritakan tentang Sri Krishna Sang Avatara Agung dan Balarama yang konon adalah wujud dari Ananta, Sesha yang selalu bersama Narayana.

Resi Shuka baru saja berpikir tentang Vasudeva dan Devaki dan pikiran Resi Shuka terfokus pada Narayana yang telah mengambil suatu wujud untuk membersihkan racun yang sedang mencekik dunia. Air mata sang resi mengalir, mengingat kebesaran Narayana.

Bila sebelumnya sang resi berkisah tentang dinasti Purawa atau Korawa, keturunan Puru putra Yayati, maka kisah dinasti Yadawa, keturunan Yadu putra Yayati telah menggetarkannya.

“Dia tak berwujud, dan tak dapat diserupakan dengan apa pun juga. Akan tetapi bila Dia ingin mewujud, siapa yang dapat menolaknya? Ilmu manusia tak dapat mencapai Dia.”

“Manakala terjadi penurunan dharma, terjadi peningkatan adharma, Dia memutuskan untuk dilahirkan di atas dunia untuk membersihkan para raja yang mabuk kuasa. Para raja lalim tersebut adalah para asura dalam wujud manusia.”

Di kerajaan Mathura, Raja Kamsa merusak tatanan yang ada dengan mengurung sang Ayahanda, bekas raja Ugrasena, berkoalisi dengan Mertuanya Raja Jarasandha untuk menguasai dunia dengan kekuatannya. Di kerajaan besar Hastinapura terjadi intrik-intrik perebutan kekuasaan yang didalangi Shakuni untuk menyingkirkan Pandu dan menjadikan Drestarastra yang buta sebagai maharaja dan putranya sebagai putra mahkota. Di setiap kerajaan di dunia hampir terjadi hal yang sama.

Mengandalkan pikiran dan nafsu serta memojokkan nurani, membuat para manusia zaman tersebut semakin tidak selaras dengan alam. Ketidakselarasan dengan alam, merusak keseimbangan alam semesta dan melukai hati Bunda Bumi.

Ketakselarasan dengan alam membuat kita tidak nyaman, sakit. Ketakselarasan pula yang menyebabkan kelahiran dan kematian. Keselarasan akan membuat kita kekal, abadi – bebas dari kelahiran dan kematian. Keselarasan kita dengan alam adalah Rencana Allah bagi kita – Kehendak Ilahi. Ketakselarasan kita dengan alam adalah buatan kita. Lalu, apakah kita dapat berbuat sesuatu yang bertentangan dengan Rencana Allah, dengan Kehendak Ilahi? Apakah kita dapat melakukan sesuatu yang kemudian menjauhkan kita dari Allah? Jawabannya “Tidak”. Tetapi kenyataannya di lapangan, fakta di depan mata berbicara yang lain. Ternyata kita memang jauh dari Allah, setidaknya kejauhan itu “terasa”. Ternyata tindakan kita memang tidak selaras dengan alam. Apa yang terjadi? Apa yang membuat kita merasa jauh? Apa yang menjadi penyebab ketakselarasan kita dengan alam? Keterikatan pada materi menimbulkan keinginan dan ketakselarasan dengan alam. Kemudian berbagai macam masalah pun muncul. *2 Mawar Mistik

Macam-macam Pencinta Ilahi

Beberapa manusia memang merasa dekat dengan kebenaran, merasa menjadi Pencinta Ilahi, tetapi apakah mereka sudah menjadi Pencinta Ilahi yang sejati? Tidakkah tindakannya tersebut masih diselubungi maya dengan kekuatan tiga guna, tamas, rajas dan satvik?

Pada waktu adharma merajalela, bahkan mereka yang mengaku Pencinta Ilahi pun berbeda-beda dalam pemahaman, karena berbeda-beda tingkat kesadaran.

Seorang Pencinta Tamasic tampak sangat dinamis, aktif, sibuk dengan ritual-ritual keagamaan. Tidak mengenal lelah. Disuruh bangun tengah malam, mau. Disuruh apa saja, siap. Tapi, harus ada yang memberitahunya. Dia tak akan bergerak tanpa pemberitahuan. Dia harus diatur, diurus. Kadang oleh buku, kadang oleh masyarakat dan hukum, kadang oleh seorang guru atau pemimpin. Dalam tradisi Sufi, ada sebuah kata yang indah sekali, yaitu Ijtihad atau upaya. Dalam hal ini yang dimaksud adalah upaya untuk menemukan sendiri Kebenaran Hakiki. Upaya untuk menemukan makna tersirat di balik yang tersurat. Pencinta Tamasic tidak pernah ber-ijtihad. Dia malas. Dan, untuk menutupi kemalasan diri, dia akan selalu mencari pembenaran. “Kami kan orang awam, manusia biasa. Mereka itu para ahli tafsir. Biar merekalah yang menuntun kami.” *2 Narada Bhakti Sutra

Lebih parah dari Pencinta Tamasic adalah pencinta Rajasic. Mereka merasa benar, dan memaksakan pemahamannya tentang kebenaran untuk diikuti. Bila pada zaman Treta Yuga yang bersifat rajas adalah para asura, maka dalam zaman Dwapara Yuga yang mempunyai sifat rajas adalah raja-raja yang serakah.

Para Pencinta Rajasic tidak tumpul, tidak malas. Mereka cukup tajam, berpengetahuan. They have very sharp minds. Itu sebabnya mereka sibuk melakukan kalkulasi. Menghitung laba rugi. Mereka tidak akan melakukan sesuatu yang tidak menguntungkan. Mereka akan menafikan ritus-ritus dan tradisi-tradisi lama “yang dianggap tidak berguna”. Dan mempertahankan apa saja “yang dianggap masih berguna”. Bagi para pencinta Rajasic, segala sesuatu harus “berguna” – entah berguna bagi diri mereka, atau bagi masyarakat luas – sesuai “pandangan” mereka. Itu sebabnya mereka bisa memaksakan kehendak diri, pandangan pribadi. Apa yang mereka “anggap” benar harus diterima oleh masyarakat luas. Bila memiliki kekuasaan, para pencinta Rajasic bisa menjadi tiran, kejam, keji. Mereka bisa mengangkat pedang dan memaksa Anda untuk menerima kebenaran sebagaimana mereka definisikan, kebenaran sebagaimana mereka artikan. *2 Narada Bhakti Sutra

Disamping Pencinta Tamasic yang malas dan Pencinta Rajasic yang aktif, ada Pencinta Satvic.

Pencinta Satvic sadar bahwa kepuasan intelektual hanyalah “sebuah slogan”. Intelek tidak pernah puas. Sudah menguasai satu ilmu, dia ingin menguasai yang lain. Itu sebab para saintis tulen, para ilmuwan sejati – tidak pernah berhenti meneliti. Mereka tidak pernah puas. Kebebasan dari penderitaan juga sebuah slogan. Seseorang bisa merasa dirinya sudah terbebaskan. Padahal yang terbebaskan itu apa, “diri” yang mana? Seorang sadar juga masih bisa jatuh sakit. Taruhlah kesadaran dia sudah meningkat. Rasa sakit tidak mengganggunya lagi. Tetapi badan tetap saja sakit. Bagaimana mengabaikan kenyataan itu? Apakah “si badan” bukan bagian dari dirinya? Secara intelektual, memang bisa dijelaskan bahwa badan bukan aku, pikiran bukan aku, rasa bukan aku. Kita lupa bahwa pernyataan “badan bukan aku” datang dari badan. Dari mulut dan lidah yang masih merupakan bagian dari badan. Oleh karena itu, seorang Pencinta Satvic akan menerima hidup seutuhnya. Dia tidak akan lari dari penderitaan. Dia akan menerima penderitaan se bagai bagian dari hidup. Dia sadar dan dia cinta kesadaran. Doa dan ibadahnya bertujuan jelas. Satu kata: kesadaran. “Ya, Allah, Ya Rabb, Widhi, Tao, Bapa di Surga… sadarkan diriku. Bantulah aku sehingga bisa mempertahankan kesadaran diri.” Bagi Narada, ketiga macam cinta ini masih “bersyarat”, masih bersifat, masih bertujuan, masih terbatas. *2 Narada Bhakti Sutra

Ada satu lagi Pencinta tak bersyarat.

Sejak berabad-abad, sutra ini telah membingungkan sekian banyak penafsir dan penerjemah. Masa’ iya, cinta tak bersyarat lebih mudah daripada cinta bersyarat?…..Lain pemahaman kita, lain pemahaman Narada. Pemahaman Narada berbeda, “Untuk mencintai dengan cara tamas, rajas maupun satva, engkau harus bekerja keras, berupaya, karena tujuanmu jelas. Dan tujuan itu harus tercapai, engkau gelisah. Engkau memikirkan hasil melulu. Entah yang kau harapkan adalah kenikmatan sesaat atau kebahagiaan untuk selama-lamanya, harapan itu sendiri menggelisahkan.” Bayangkan.. Bila Anda menginginkan kemewahan hotel bintang lima, dompet Anda harus tebal. Bila Anda menginginkan kenikmatan Surga, deposito amal saleh Anda harus banyak. Setelah berdana-punia, beramal saleh pun kita masih ragu-ragu: “Cukup nggak, cukup nggak? Jangan-jangan tidak cukup!”dalam hal beramal saleh pun kita berlomba dan bersaing. Dan perlombaan serta saingan semacam itu diperlukan. Itu sebabnya Narada tidak mengkritik para pencinta bersyarat. Mereka dibutuhkan. Berkat persaingan dan perlombaan ketat antar mereka, hidup di dalam dunia menjadi sedikit lebih nyaman bagi mereka yang kurang beruntung. Bagi para yatim piatu, janda, fakir miskin dan para jompo….. *2 Narada Bhakti Sutra

Kesedihan Bunda Bumi

Raja Parikesit berterima kasih ketika Resi Shuka mulai menceritakan tentang Purnaavatara Sri Krishna. “Guru, sejak kecil kami sangat terkesan oleh Sri Krishna. Sejak dalam kandungan hamba telah diselamatkan oleh Sri Krishna yang melindungi kami dari senjata Bramastra dari Asvatama yang ingin memusnahkan seluruh keturunan Pandawa. Kami lah satu-satunya keturunan pandawa yang masih tersisa setelah semua saudara-saudara hamba dibunuh oleh Aswatama. Sejak kecil hamba selalu mencari Sri Krishna, mata hamba memperhatikan semua orang yang baru kami kenal. Kami selalu mengadakan pariksha, meneliti, sehingga kami diberi nama Parikhsit.”

“Wahai Guru selama peperangan Bharatayuda di Kurukshetra, Sri Krishna adalah rakit yang membawa nenek moyang kami menyeberangi sungai. Sungai yang mempunyai tepian Bhisma dan Drona pada kedua sisinya. Sungai tersebut terdiri dari pasukan yang tak terukur dipimpin oleh Jayadhrata. Karna adalah ombak perkasa yang mencoba menenggelamkan Pandawa. Salya adalah ikan hiu yang bersembunyi di dalam sungai ditemani Asvatama dan Vikarna. Duryudana adalah pusaran air yang menghisap segala yang berada di atas permukaan sungai. Sungai seperti itulah yang diseberangi Pandawa sebab pelindungnya adalah Sri Krisna.”

“Baiklah wahai raja, pada suatu ketika Bunda Bumi terbebani oleh terlalu banyaknya orang yang bertindak penuh kebodohan sehingga adharma merajalela. Bunda Bumi tidak bisa lagi menahan rasa sakit dan segera mewujud sebagai induk sapi dan pergi kepada Brahma, melaporkan bahwa para raja dan ksatriya telah mengotori bumi dan hanya Narayana yang dapat menolongnya.

Brahma, Shiwa bersama para dewa memusatkan kesadaran pada Narayana. Dan mereka seakan-akan mendengar sabda Narayana, “Panas memang sedang membakar bumi. Aku memutuskan untuk mengambil nama dan rupa. Aku akan ada di bumi sampai gangguan terselesaikan. Selama waktu itu, aku ingin kalian para dewa untuk lahir juga di muka bumi. Aku akan dilahirkan sebagai putra Vasudewa dan Devaki. Sedangkan Adhisesa yang tak dapat dipisahkan denganku akan dilahirkan sebagai kakakku.”

Dewi Maya yang kuasanya menenggelamkan seluruh dunia dalam ilusi juga akan dilahirkan. Semua penduduk surga dilahirkan bersama Narayana untuk membersihkan bumi.

Bunda bumi terhibur karena dunia akan segera bebas dari rasa sakitnya. Para ksatriya yang baik akan dipandu avatara dan para dewa untuk mengalahkan adharma. Para ksatriya akan menghadapi adharma dan menegakkan kebenaran di muka bumi, bukan mengasingkan diri dari dunia mencari ketenangan diri. Suatu ketenangan diri yang semu.

Mereka yang mencari Kebenaran dengan memisahkan diri dari dunia barangkali belum memahami arti Kebenaran. Kebenaran itu Maha Ada; Kebenaran itu Maha Hadir; Kebenaran itu Maha Meliputi … dan dunia ini pula berada dalam liputan-Nya, termasuk cacing-cacing di bawah tanah dan bintang terjauh di langit sana. Mau memisahkan diri dari dunia dengan cara apa ? Mau berpisah dari semesta dengan cara apa? Kita semua berurusan dengan dunia ini, dengan alam semesta … dengan bebatuan dan pepohonan, dengan hewan-hewan berkaki empat, berkaki dua, bahkan bersel tunggal di darat dan di dalam air, serta dengan burung-burung yang terbang di angkasa. Siapapun dijahati, sesungguhnya aku juga dijahati. Dan, membiarkan aku dijahati, merupakan kejahatan pula. *4 Jangka Jayabaya



Masa lalu Vasudewa dan Devaki

Kurang lebih 3.200 tahun SM, Ahakura dari keturunan Yadu mendirikan kerajaan kecil di tepi sungai Yamuna. Mathura adalah ibukotanya. Kerajaan Mathura meluas karena menanami hutan yang tidak produktif dengan tanaman produktif dan membatasi lahan untuk pembangunan sehingga kelestarian alam terjaga.

Setelah Ahakura meninggal, Ugrasena bersama-sama Devaka dua bersaudara putra Ahakura memerintah kerajaan ini. Pemimpin kerajaan Mathura tak mau disebut Raja tetapi Daas, Pelayan. Mathura tidak diperintah raja tetapi oleh dwitunggal Ugrasena dan Devaka dan mereka adalah Mathura Daas.

Ugrasena mempunyai putra bernama Kamsa, sedang Devaka mempunyai putri bernama Devaki. Mereka bermain bersama, belajar bersama, layaknya saudara kandung. Devaka akhirnya meninggal. Dan Ugrasena segera mencarikan jodoh bagi Devaki. Dipilihlah Vasudeva yang merupakan keluarga jauh Ugrasena. Vasudeva adalah sahabat Kamsa.

Resi Shuka melanjutkan, “Devaki adalah yang paling suci di antara wanita. Dalam kehidupan dahulu, dia dilahirkan dalam keturunan Svayambu Manu, bernama Prsni. Pada saat tersebut, Vasudewa bernama Sutapa. Mereka diperintahkan untuk melakukan tapa penuh pengabdian. Pikiran mereka terfokus pada Narayana. Walaupun suci tetapi mereka berdua masih diliputi ilusi maya. Mereka tidak minta moksha tetapi ingin melahirkan Dia yang mewujud sebagai putra mereka. Mereka masih terlibat dalam kesenangan dunia dalam proses melahirkan Dia. Dia putra Prsni selanjutnya dikenal sebagai Prsnigarbha dan menjadi terkenal karena kualitas kesuciannya.”

“Kemudian mereka lahir lagi sebagai Kasyapa dan Aditi, dan lahirlah Dia sebagai Upendra yang terkenal dengan nama Vamana. Sang penakluk Bali. Ini adalah waktu yang ketiga Dia dilahirkan sebagai Sri Krishna, putra mereka. Pada saatnya nanti, Sri Krishna berkata pada sang bunda, “Jika bunda tidak melihat bentuk sejatiku, maka bunda akan terlibat lagi dalam maya dan tidak dapat mencapai moksha. Setelah melihat wujud sejatiku, bunda akan menyadari bahwa aku adalah Brahman. Dan, setelah kelahiran ini bunda akan moksha.” Demikian wahai raja, awal kisah tentang Devaki dan Vasudewa.”



Bercermin pada Jangka Jayabaya

Kondisi adharma yang meningkat selalu terjadi setiap saat. Bagaimana mengatasinya tergantung dengan situasi dan kondisi yang berubah sesuai perkembangan zaman. Sri Krishna pun dapat dimaknai sebagai ‘sang pikiran jernih’ yang ada dalam diri manusia.

Bila telah terlihat tanda-tanda seperti itu: Pertama, kereta tanpa kuda pancaindra merajalela, dan hidup dikuasai oleh kesadaran rendah. Kedua, berkalung besi kita terbelenggu karena ulah sendiri, dan terlilit utang karena keserakahan dan ketakmampuan kita untuk mengendalikan diri. Ketiga, perahu mengarungi di angkasa segala sesuai telah kehilangan ciri kodratinya. Keempat, sungai kehilangan lubuk, air kehidupan sudah mengering, raga berkeliaran tanpa roh, penampilan lebih dipentingkan daripada isi; gengsi lebih diutamakan daripada jati diri. Kelima, pasar kehilangan keramaiannya masyarakat kehilangan dinamikanya karena kita tak berani menyuarakan kebenaran, selalu takut dan tidak hidup sepenuhnya….. Maka ketahuilah bahwa tiba saatnya untuk melampaui rasa takut sebelum ia berhasil mematahkan semangat kita. Dan saat itu bukanlah di masa depan, atau nanti. Saat itu adalah saat ini. Here and now, lampaui rasa takut, dan raihlah kemenangan! *4 Jangka Jayabaya

Iku tandhane yen wong bakal nemoni wolak-waliking jaman. Itu pertanda orang akan mengalami zaman berbolak-balik. Bolak balik, upside down … Yang kaya menjadi rakus, padahal sudah kaya. Mau apa lagi sih? Yang miskin malas, padahal sudah melarat. Kenapa tidak bekerja ? Kenapa tidak bekerja ? Kenapa tidak menerima pekerjaan apa saja, asal tidak perlu menggadaikan jiwamu, daripada menganggur? Bolak-balik, upside down … Para ulama mengajar takhta. Rohaniwan lebih suka main sinetron dan menjadi penyanyi. Dan, para penyanyi serta pemain sinetron malah berdakwah. Bolak-balik, upside down… Pengusaha menjadi politisi. Sebaliknya, para politisi berdagang. Wakil rakyat dan pejabat penerima mandat minta dilayani. Rakyat pemberi mandat terpaksa melayani. Bokal-balik, upside down… Kelompok Mayoritas merasa terancam, padahal sudah Mayoritas. Kelompok minoritas tidak tahu diri dan sering berperilaku tidak tepat. Zaman tidak membuat orang, orang membuat zaman. Zaman adalah ciptaan kita sendiri, diracik oleh pikiran dan dikukuhkan oleh perilaku kita sendiri. Janganlah kau menyalahkan zaman. Zaman berbolak-balik pun karena ulah kita sendiri. *4 Jangka Jayabaya

Jangka Jayabaya, bagi saya, bukanlah ramalan yang dibuat di masa lalu tentang masa depan kita, melainkan “Tuntutan waktu supaya kita hidup dalam kekinian, hidup dengan penuh semangat, berkarya tanpa rasa takut” dan “kemenangan bagi para satria yang telah menaklukan rasa takut” … kemenangan bagi kita semua yang berjiwa satria!. Apa yang kau takuti, wahai satria? Masa lalu yang penuh kekacauan berlalu sudah. Entah “berupa” masa lalu seperti itu yang telah kau lewati. Jiwamu tak terpengaruhi oleh kekacauan itu. Kau berada diatas segala kekacauan. Bangkitlah dalam kesadaranmu, bangkitlah untuk berkarya bagi Ibu Pertiwi dengan penuh semangat. Bangkitlah untuk mempersembahkan jiwa dan ragamu kepadanya. *3 Jangka Jayabaya

Bapak Anand Krishna mengambil jalur yang jarang ditempuh oleh penafsir Jangka Jayabaya. Alih-alih menantikan seorang tokoh hebat yang akan memimpin kita, beliau melihat Jayabaya bicara mengenai kerinduan akan penemuan jatidiri setiap manusia Indonesia. Jangka jayabaya adalah ajakan untuk mentransformasi diri, mengalahkan ketakutan. Lebih dari sekedar ramalan, naskah kuno ini memaparkan tuntutan waktu supaya kita hidup dalam kekinian, dengan penuh semangat, dan berkarya tanpa rasa takut. Karena itu, tak perlu menantikan Herumukti, sebab dia itu adalah Anda! Sambut kelahirannya dalam diri Anda!

Terima Kasih Guru yang tak jemu-jemu menyemangatkan putra-putri Indonesia untuk menemukan jatidirinya dan menegakkan dharma bagi Ibu Pertiwi!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar